BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Status
Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau
serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.Serangan
yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum
pulih setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.
Secara klinis
dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama
terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini.
Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi
berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan
syaraf irreversibel pada tahap ini.Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan
dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
1.2 tujuan
Makalah ini
kami buat bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah farmakologi dan mengetahui
apa itu epilepsy, epileptikus dan apa saja gejala serta bagaimana penanganan
pada status epileptikus.
1.3 rumusan masalah
a.
apa
pengertian epilepsi dan epileptikus ?
b.
apa saja
klasifikasi dari epileptikus ?
c.
bagaimana
etiologic dan patofosiologi dari SE ?
d.
bagaimana
penatalaksanaan dari SE ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Epilepsi
adalah manifestasi klinik dari bangkitan seizure(stereotipik), berlangsung
secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan
oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut.
Menurut WHO
(Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagai
macam penyabab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa
kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan
di otak.
Status
Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau
serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.Serangan
yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum
pulih setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.
2.2. Klasifikasi status epileptikus
Klasifikasi
status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status
epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu
dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized
onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu,
apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak
pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.Satu
versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks).
Versi lain
membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle)
dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks,
absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan
(batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya
dewasa).
2.3. Etiologi
Secara umum penyebab kejang
dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a.
Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui,
umumnya mempunyai predisposisi genetik
b.
Kriptogenik :Dianggap simptomatik tatapi
penyebabnya belum diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom
lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus
c.
Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada
susunan saraf pusat misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP),
kelainan kongenital, lesi ruang,gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,
obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.
2.4 Faktor pencetus Status
Epileptikus
a.
Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis
pengobatan yang tidak memadai
b.
Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan
penyerapan GIT
c.
Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat
kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
d.
Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug
abuse, atau obat-obat anti depresi
2.5. Patofisiologi
Sel saraf diootak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada
keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi
aktifitas listrik otak.
Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku,
banyak sel saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan
sel saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya atau pada sel
yang memilik hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar kumpulan sel
saraf tereksitasi bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas
tubuh berlebihan.
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang
menginhibisi sel eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin
dikarenakan produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel
mengeluarkan sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga
dilepasakan berlebihan dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang
normalnya membatasi penyebaran sinyal listrik yang abnormal. Diantara neurotansmitter-neurotarsmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin,
sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric
acid (GABA).
Secara klinis
dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama
terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini.
Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi
berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan
syaraf irreversibel pada tahap ini.Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan
dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas
kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan
pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi
kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan
kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri,
serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin
paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme
yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion
Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
2.6. Gambaran klinis
Pengenalan
terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44-74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
a.
Status
Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
merupakan bentuk dari
Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung
dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan
pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase
ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang.Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
b.
Status
Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status
epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan
diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c.
Status
Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik
terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti
fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.
d.
Status
Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada
pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi
sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status
epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau
kondisi degeneratif.
e.
Status
Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus
yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya
perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion
movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada
riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG
terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada
semua tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena
didapati.
f.
Status
Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit
dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai
dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai
perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized
spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari
status absens
g.
Status
Epileptikus Parsial Sederhana
a.
Status
Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut
mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki
dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada
satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran
tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED),
dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang
intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b.
Status
Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status
somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.
h.
Status
Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai
serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah
pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada
lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering
menyeluruh.
Kondisi ini dapat
dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa
kasus
2.7. Penatalaksanaan Status
Epileptikus
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
optimal untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas
fisik maupun mental yang dimiliki pasien. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan
beberapa upaya, yaitu
·
menghentikan bangkitan
·
mengurangi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang ringan
·
menurunkan angka kesakitan dan kematian.
a.
Pertolongan pertama pada saat kejang
1.
Bantulah pasien berbaring, jauhkanlah dari sesuatu
yang keras dan tajam seperti sudut meja
2.
Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ketanah
agar air ludah tidak masuk ke jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan
nafas
3.
Longgarkan baju, lepaskan kaca mata tetapi kontak lens
biarkan saja
4.
Jangan berusaha memasukkan apapun kedalam mulut
pasien, lidah tak dapat berfungsi untuk menrlan sehingga akan menyebabkan
tersedak
5.
Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan
(restrain) pasien, hal ini akan mengakibatkan perlawanan atau agitasi pasien.
6.
Hindari pemberian obat oral, minuman atau makanan
sebelum pasien pulih 100% kesadarannya.
b.
Pilihan obat-obat untuk status epileptikus
ini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan :
1. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah
Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA)
oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
2. Berdasarkan penelitian Randomized
Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status
epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.
Nama obat
|
Dosis (mg/kg)
|
Persentase
|
1. Lorazepam
|
0,1
|
65 %
|
2. Phenobarbitone
|
15
|
59 %
|
3. Diazepam + Fenitoin
|
0.15 + 18
|
56 %
|
4. Fenitoin
|
18
|
1.
Lorazepam
memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak
dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis
awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal.
Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %)
dari Lorazepam adalah sama.
2.
Pemberian
antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.Fenitoin
diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg
dengan infus atau bolus.Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang.Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove
syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal
c.
Tabel obat penanganan epileptikus
Obat
|
Pemberian
obat
|
Dosis
dewasa
|
Dosis
anak
|
Diazepam
|
·
IV
bolus
·
Rektal
·
IV
infus
|
·
10-20
mg at 2-5 mg/min
·
10-30
mg
·
8 mg/jam
|
·
0,25-0,5
mg/kgBB
·
2-5
mg/kgBB
·
0,5-0,75
mg/jam
|
Lorazepam
|
·
IV
bolus
|
·
4 mg
|
·
0,1
mg/kg
|
Midazolam
|
·
IM/Rektal
·
IV
bolus
·
IV
infus
·
Buccal
|
·
5-10
mg
·
0,1-0,3
mg/kg at<4 mg/jam
·
0,05-0,4mg/kg/jam
·
10 mg
|
·
0,15-0,3
mg/kg
·
10 mg
|
Phenobarbital
|
·
IV
bolus
|
·
10
mg/kgBB kecepatan <100 mg/min
|
·
15-20
mg/kg kecepatan <100 mg/min
|
Phenytoin
|
·
IV
bolus/infus
|
·
15-18mg/kg
kecepatan <50 mg/kg/min
|
·
20
mg/kg kecepatan
·
<25
mg/min
|
BAB
III
PENUTUP
3.1
kesimpulan
Status
Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau
serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.Serangan
yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum
pulih setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.
Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area
tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized
onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu,
apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak
pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.Satu
versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks).
Versi lain
membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle)
dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks,
absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan
(batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya
dewasa).
3.2. kritik dan saran
Aktivitas
kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.Keadaan ini
diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Demikian
penyusunan makalah ini di buat dengan sederhana. Apabila ada kesalahan dalam
tulisan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.bagi pembaca kami membutuhkan
saran dan kritik untuk pembuatan makalah selanjutnya.
No comments:
Post a Comment